![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3ryRsxh91VShQj5ymx8BAQ1Sp8i5eC9TePXDWR7gxoUcBK8FE54DuXYAny6wYpggpUYk1WoINlQ_ueqM-soIZVQEUShupaSqPpoW5BxxLOmGuBBmeUvp4sNYlb8yto4HOl2qGa4KX68g/s1600/Nardi%252C+Ayu.jpg)
Selanjutnya sekitar tahun 60-an tarian ini dikembangkan lagi oleh Alm. Ki Hadi Soewarno. Pengembangan ini yang membuat tari Topeng Lengger terlihat lebih atraktif dibanding gaya tari Solo atau Yogya yang halus, bahkan cenderung tampak seperti gaya tari Jawa Timur karena konon versi ceritanya berasal dari Kerajaan Kediri. Menurut tokoh dan seniman Desa Giyanti, Lengger berasal dari Bahasa Jawa “elinga ngger” yang berarti, “ingatlah nak”. Tari ini untuk memberi pesan agar setiap orang harus selalu ingat kepada Sang Pencipta dan berbuat baik kepada sesama.
Menurut kisahnya, tari ini berawal ketika Raja Brawijaya yang kehilangan putrinya, Dewi Sekartaji, mengadakan sayembara untuk memberikan penghargaan bagi siapa pun yang bisa menemukan sang putri. Bila pria yang menemukan akan dijadikan suami sang putri dan jika wanita maka akan dijadikan saudara.
Sayembara yang dikuti oleh banyak ksatria ini akhirnya tinggal menyisakan dua peserta yaitu Raden Panji Asmoro Bangun yang menyamar dengan nama Joko Kembang Kuning dari Kerajaan Jenggala. Satu lagi, Prabu Klono dari Kerajaan Sebrang, merupakan orang yang menyebabkan sang putri kabur karena sang raja menjodohkannya.
Dalam pencarian tersebut, Joko Kembang Kuning yang disertai pengawalnya menyamar sebagai penari keliling yang berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain. Lakon penarinya adalah seorang pria yang memakai topeng dan berpakaian wanita dengan diiringi alat musik seadanya. Ternyata dalam setiap pementasannya tari ini mendapat sambutan yang meriah. Sehingga dinamai Lengger, yang berasal dari kata ledek (penari) dan ger atau geger (ramai atau gempar).
Hingga di suatu desa, tari Lengger ini berhasil menarik perhatian Putri Dewi Sekartaji dari persembunyiannya. Namun pada saat yang bersamaan Prabu Klono juga telah mengetahui keberadaan Sang Putri, mengutus kakaknya Retno Tenggaron yang disertai prajurit wanita untuk melamar Dewi Sekartaji. Namun lamaran itu ditolak Dewi sehingga terjadilah perkelahian dan Retno Tenggaron yang dimenangi Sang Putri.
Sementara Prabu Klono dan Joko Kembang Kuning tetap menuntut haknya pada raja. Hingga akhirnya raja memutuskan agar kedua kontestan itu untuk bertarung. Dalam pertarungan, Joko Kembang Kuning yang diwakili oleh Ksatria Tawang Alun berhasil menewaskan Prabu Klono. Di akhir kisah Joko Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji menikah dengan pestanya disemarakkan dengan hiburan Tari Topeng Lengger.
Menurut seniman Lengger Wonosobo dari Sanggar Setyo Langen Budoyo, Dwi Pranyoto, Lengger yang pada jaman Kerajaan Hindu Brawijaya merupakan Ledek Geger (penari yang mengundang keramaian), mengalami perkembangan saat kerajaan-kerajaan Islam mulai berdiri. Adalah Sunan Kali Jaga yang merupakan tokoh wali yang sangat cinta terhadap seni yang membawakan Tari Lengger sebagai Syiar Islam.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcjR6L8Z6ZzaeOpMHIJ_PzsK27TNAW3xYPYuleZUv8_MfLbnvUAo84gH6oO-J0MvaaAt-oTLJoGYEJpPsr5tCcCFpLbab0gS4KN208-ieQUhs0U0N7GTg1pbU7xOEN4fw0xpiNPAIbuKA/s1600/Foto%25281200%2529.jpg)
Dengan cara ini Sunan Kalijaga mengajarkan budi pekerti, dan Tari Lengger yang tadinya negatif menjadi sarana dakwah sehingga Lengger sampai saat ini dikenal dengan sebutan “elinga ngger” sebuah tarian yang mengajarkan untuk ingat kepada Tuhan.
Tari Topeng Lengger terus bertahan sampai saat ini, tarian ini biasa ditarikan oleh dua orang, yang pria memakai topeng dan yang wanita memakan pakaian tradisional kebesaran layaknya putri Jawa pada masa lampau. Penari menarikan ini sekitar 10 menit dengan diiringi dengan alunan musik gambang, saron, kendang, gong, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar