Senin, 30 Juni 2014

Kesenian Tari Topeng Rukun sari, Banjar sari Wonosobo

Sejarah Tari Topeng dan lengger

Dari namanya saja orang sudah bisa menerka bahwa tarian ini menggunakan topeng. Tapi siapa yang menyangka bila penarinya yang berpakaian tradisional wanita ini ternyata pria. Ternyata keberadaan pria dalam tari ini memiliki filosofi dan tujuan tertentu. Tarian Topeng Lengger termasuk tarian tradisional yang hampir satu abad diperkenalkan di Jawa Tengah. Awalnya tarian ini dirintis di Dusun Giyanti oleh tokoh kesenian tradisional dari Desa Kecis, Kecamatan Selomerto, yaitu Bapak Gondhowinangun pada 1910.
Selanjutnya sekitar tahun 60-an tarian ini dikembangkan lagi oleh Alm. Ki Hadi Soewarno. Pengembangan ini yang membuat tari Topeng Lengger terlihat lebih atraktif dibanding gaya tari Solo atau Yogya yang halus, bahkan cenderung tampak seperti gaya tari Jawa Timur karena konon versi ceritanya berasal dari Kerajaan Kediri. Menurut tokoh dan seniman Desa Giyanti, Lengger berasal dari Bahasa Jawa “elinga ngger” yang berarti, “ingatlah nak”. Tari ini untuk memberi pesan agar setiap orang harus selalu ingat kepada Sang Pencipta dan berbuat baik kepada sesama.
Menurut kisahnya, tari ini berawal ketika Raja Brawijaya yang kehilangan putrinya, Dewi Sekartaji, mengadakan sayembara untuk memberikan penghargaan bagi siapa pun yang bisa menemukan sang putri. Bila pria yang menemukan akan dijadikan suami sang putri dan jika wanita maka akan dijadikan saudara.
Sayembara yang dikuti oleh banyak ksatria ini akhirnya tinggal menyisakan dua peserta yaitu Raden Panji Asmoro Bangun yang menyamar dengan nama Joko Kembang Kuning dari Kerajaan Jenggala. Satu lagi, Prabu Klono dari Kerajaan Sebrang, merupakan orang yang menyebabkan sang putri kabur karena sang raja menjodohkannya.
Dalam pencarian tersebut, Joko Kembang Kuning yang disertai pengawalnya menyamar sebagai penari keliling yang berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain. Lakon penarinya adalah seorang pria yang memakai topeng dan berpakaian wanita dengan diiringi alat musik seadanya. Ternyata dalam setiap pementasannya tari ini mendapat sambutan yang meriah. Sehingga dinamai Lengger, yang berasal dari kata ledek (penari) dan ger atau geger (ramai atau gempar).
Hingga di suatu desa, tari Lengger ini berhasil menarik perhatian Putri Dewi Sekartaji dari persembunyiannya. Namun pada saat yang bersamaan Prabu Klono juga telah mengetahui keberadaan Sang Putri, mengutus kakaknya Retno Tenggaron yang disertai prajurit wanita untuk melamar Dewi Sekartaji. Namun lamaran itu ditolak Dewi sehingga terjadilah perkelahian dan Retno Tenggaron yang dimenangi Sang Putri.
Sementara Prabu Klono dan Joko Kembang Kuning tetap menuntut haknya pada raja. Hingga akhirnya raja memutuskan agar kedua kontestan itu untuk bertarung. Dalam pertarungan, Joko Kembang Kuning yang diwakili oleh Ksatria Tawang Alun berhasil menewaskan Prabu Klono. Di akhir kisah Joko Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji menikah dengan pestanya disemarakkan dengan hiburan Tari Topeng Lengger.
Menurut seniman Lengger Wonosobo dari Sanggar Setyo Langen Budoyo, Dwi Pranyoto, Lengger yang pada jaman Kerajaan Hindu Brawijaya merupakan Ledek Geger (penari yang mengundang keramaian), mengalami perkembangan saat kerajaan-kerajaan Islam mulai berdiri. Adalah Sunan Kali Jaga yang merupakan tokoh wali yang sangat cinta terhadap seni yang membawakan Tari Lengger sebagai Syiar Islam.
Tari Lengger yang dalam perkembangannya sempat berkonotasi negatif karena mulai dikemas untuk memancing syahwat dan penontonnya pun biasa menikmati tarian ini sambil mabuk. “Melihat kondisi ini Sunan Kalijaga menyamar sebagai Ronggeng yang memakai topeng dan menari Lengger, namun ketika penonton sudah terbuai, maka Sunan Kalijaga melepas topengnya.” jelas pria yang lebih senang disapa Dwi ini.
Dengan cara ini Sunan Kalijaga mengajarkan budi pekerti, dan Tari Lengger yang tadinya negatif menjadi sarana dakwah sehingga Lengger sampai saat ini dikenal dengan sebutan “elinga ngger” sebuah tarian yang mengajarkan untuk ingat kepada Tuhan.
Tari Topeng Lengger terus bertahan sampai saat ini, tarian ini biasa ditarikan oleh dua orang, yang pria memakai topeng dan yang wanita memakan pakaian tradisional kebesaran layaknya putri Jawa pada masa lampau. Penari menarikan ini sekitar 10 menit dengan diiringi dengan alunan musik gambang, saron, kendang, gong, dan sebagainya.







Selasa, 18 Oktober 2011

sejarah man wonosobo

Sejarah MAN Wonosobo
             Pada akhir tahun 1356 H/1938 M, Nahdlatul Ulama yang didirikanya pada tahun 1926 M, sesuai dengan tujuan pembentukanya salah satunya berikhtiar memperbanyak madarsah-madrasah yaitu Madrasah Awaliya 2 tahumn, Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun, Madrasah Tsanawiyah 3 tahun, Madrasah Mualimin Wustho 2 tahun dan Madrasah Mualimin ‘Ulya 3 tahun. Madarasah-madrasah ini didirikan di tingkat cabang sampai ranting Nahdlatul Ulama, termasuk Wonosobo yang memiliki tidak kurang 75 Madrasah Ibtidaiyah, belasan Madrasah Tsanawiyah.
Satu diantaranya Madarsah Mualimin NU yang berdiri pada tanggal 13 Januari 1962, yang menempati sebuah gedung semi permanen yang terletak di kampong kauman, kini gedung tersebut telah menjadi kantor NU Cabang Wonsobo.
Madrasah ini hanya bertahan selama 6 tahun, sekalipun demikian telah menghasilkan alumni yang sampai saat ini sebagian besar menjadi tokoh-tokoh di Wonosobo, karena pada tahun 1968 melalui proses pembicaraan yang panjang antara pihak pengelola dalam hal ini adalah Lembaga Pendidikan Ma’arif, dan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dengan Kantor Dinas pendidikan Agama Kabupaten Wonosobo sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengaturan pendidikan Islam.
Berdsarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 158 Tahun 1968 tanggal 26 Juli 1968, Madarsah Mualimin Ma’arif NU kbupaten Wonosbo berubah stasus menjadi Pendidikan guru Agama Negeri (PGAN) 4 tahun di Wonosobo. Adapun kepala PGAN dijabat oleh Moch. Hasyim Djunaedi, BA. Gedung tempat belajar masih menempati gedung Mualimin NU di Jl. Kauman Nomor 35 Wonosobo, ditambah dengan menyewa gedung milik Yayasan Masjid Al-Mansur Wonosbo.
Dua tahun kemudian tepatnya pada tanggal 10 September 1970, PGAN 4 tahun di Wonsobo ditinggikan menjadi PGAN 6 tahun Wonsobo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 204 Tahun 1970, dan Moch. Hasyim Djunaedi, BA masih menjabat sebagai Kepala. PGAN 6 tahun Wonosobo bertahan selama persisi sati Windu, namun pada usia yang relative pendek itu telah berhasil menyalurkan lulusan yang hamper memenuhi kebutuhan guru Agama SD/MI di Kabupaten Wonosobo (kurang lebih 70% guru Agama SD/MI di Kabupaten Wonosobo adalah alumni PGAN 6 tahun Wonosobo).
Atas kebijakan restruksi pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama RI, pada tahun 1978 Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 17 tahun 1978 PGAN 6 tahun Wonosobo dipecah menjadi dua jenjang dan jenis pendidikan yaitu:
1. Madrasah Aliyah Negeri Wonosobo (bersama dengan 167 MAN di Indonesia)
2. Madrasah Tsanawiyah Negeri Wonosbo (bersama dengan 430 MTsN di Indonesia)
Dan hingga sekarang PGAN 6 tahun di Wonosobo telah menjadi Madrasah Aliyah Negeri Wonsobo yang terletak di Jl. Raya Mandala, km 03 Wonosobo.

 ditulis kembali oleh :
Ahmad Musyahid
XI IPA 2